TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-undang atau RUU Pertanahan oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan, masih banyak permasalahan substansi dalam RUU Pertanahan ini yang bertentangan reformasi agraria. Selain itu, mereka menilai rancangan aturan ini belum mengakomodir pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik.
"Draf terakhir RUU Pertanahan per tanggal 22 Juni 2019 belum dapat menjawab ekspektasi masyarakat dan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria," kata Rukka dalam keterangan tertulis dikutip Selasa, 23 Juli 2019.
Padahal, kata Rukka, RUU ini awalnya diharapkan menjawab berbagai persoalan dan konflik agraria di Indonesia. RUU ini pun diharapkan dapat mengatur pengelolaan tanah dengan mempertimbangkan sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Pemerintah juga berharap adanya RUU ini melengkapi Undang-undang Pokok Agraria yang dinilai belum dapat menjawab permasalahan aktual pertanahan.
Rukka membeberkan, ada 13 alasan koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan dan pengesahan RUU Pertanahan tersebut, yakni sebagai berikut.
1. Pembahasan RUU Pertanahan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat sipil
Rukka mengatakan organisasi masyarakat sipil belum dilibatkan secara memadai dalam pembahasan RUU ini. Dia berujar, upaya organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan dalam rapat dengar pendapat umum justru tidak diberikan.
Selain itu, mengingat RUU ini banyak kaitannya dengan isu sektor lain seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, ekonomi, transparansi, Rukka berpendapat semestinya DPR dan pemerintah melakukan proses konsultasi publik secara luas.
2.RUU Pertanahan tidak merespon ketimpangan struktural penguasaan tanah
Menurut Rukka, di dalam RUU Pertanahan tidak ada pengaturan atas perombakan penguasaan tanah yang selama ini telah terjadi. RUU ini juga memperluas peluang monopoli dengan tidak diberlakukannya pembatasan penguasaan tanah.
"RUU Pertanahan juga hendak menegaskan kembali domein verklaring melalui Status Tanah Negara, yang dahulu digunakan pemerintah kolonial untuk merampas tanah-tanah masyarakat," kata dia.
3. RUU Pertanahan memicu terjadinya korporatisasi dan komodifikasi tanah
Rukka menyoroti keberadaan Bank Tanah yang hendak diatur di RUU Pertanahan ini. Menurut dia keberadaan Bank Tanah perlu diantispasi agar tak menjadi alat komodifikasi dan pasar tanah.
Apalagi, kata dia, jika Bank Tanah diberikan kewenangan seperti halnya pemerintah dalam perencanaan, perolehan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah, serta pengelolaan keuangan dan aset lainnya dalam rangka mencari keuntungan. "Bank Tanah akan meningkatkan konflik agraria," kata dia.